Beranda | Artikel
Kuliah di Eropa dan Negeri Kafir
Senin, 22 November 2010

Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah mendapat pertanyaan dari seorang wanita,

“Aku ingin menyelesaikan studiku di salah satu negara Eropa. Tidak ada cara lain selain aku bepergian ke sana sendirian dan tanpa ditemani mahrom. Aku sendiri tahu bahwa nantinya aku akan tinggal di asrama yang khusus wanita sehingga tidak mungkin ada ikhtilath (campur baur dengan kaum pria). Apa hukum hal ini?”

 

Syaikh rahimahullah menjawab,

Nasehat kami yang pertama adalah hendaknya dia tidak bersafar ke negeri kafir seperti Eropa karena hal ini dapat membahayakan agamanya.

Nasehat kami yang kedua, seharusnya diketahui bahwa sebaik-baik tempat wanita adalah di rumah. Tugas wanita adalah mengabdi pada suami dan berkewajiban mengurus anak-anaknya.

Nasehat kami yang ketiga, ketahuilah bahwa seorang wanita dilarang bersafar tanpa mahrom kecuali jika dalam keadaan darurat. Atau ia bersafar tersebut dengan diantarkan oleh mahromnya ke pesawat, lalu diwakilkan kepada kerabat atau kepada saudaranya yang dapat memegang amanat (terpercaya) sehingga ia bisa mengantarkan pada orang yang benar-benar amanat nantinya (di sana, di tempat ia belajar).

Dalam kondisi ini jika memang dalam kondisi terpaksa untuk menyelesaikan studi (di Eropa), maka  boleh saja safar ke sana jika itu kurang dari sehari semalam. Namun hendaklah ketika safar ia ditemani oleh orang yang benar-benar amanat di pesawat dan sudah dipastikan tidak memberikan bahaya. Juga di negeri tempat ia belajar dipastikan pula wanita tersebut terlepas dari tindak bahaya dan kerusakan.

Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=6775&parent=3093

***

Dari fatwa ini Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin memberikan syarat utama seseorang boleh belajar di Eropa atau negeri kafir lainnya (seperti Amerika, Jepang atau Korea):

Pertama: Ia yakin akan terlepas dari bahaya, terutama yang membahayakan agamanya selama ia di perjalanan dan selama ia belajar di sana.

Dari sini, maka seseorang tetap wajib menjaga shalat lima waktu, shalat jama’ah bagi pria, jilbab bagi wanita, berjenggot bagi pria, juga menjauhkan diri dari makanan yang haram dan kewajiban lainnya. Namun sangat sulit sekali untuk shalat di sana, apalagi shalat secara berjama’ah. Lebih prihatin lagi adalah dalam masalah mencari makanan yang halal.

Kedua: Untuk selamat dari hal ini, tentu saja harus memiliki bekal ilmu agama yang cukup dan kesabaran untuk membentangi diri dari berbagai syahwat (perang nafsu bejat) dan syubhat (perang pemikiran).

Namun jarang sekali yang punya bekal ini ketika berangkat untuk melanjutkan kuliah ke negeri kafir, bahkan sebagian mereka adalah orang yang jauh dari Islam sehingga semakin rusak sepulang ia dari negeri kafir.

Ketiga: Dibolehkan belajar di sana jika dalam keadaan darurat.

Ini berarti jika ilmu tersebut masih didapati di negeri muslim atau di negerinya sendiri dengan kualitas yang tidak kalah jauhnya, maka sudah seharusnya ia tidak belajar di negeri kafir. Jika belajar di sana adalah darurat, maka tentu saja berada di sana sesuai kebutuhan dan cuma sekadarnya saja. Jika sudah selesai kebutuhannya, maka dia harus kembali ke negeri kaum muslimin. Ada sebuah kaedah fiqhiyah:

أن الضرورات تبيح المحظورات

أن الضرورة تُقَدَّر بقدرها

Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebenarnya terlarang,

Dalam keadaan bahaya semacam itu dibolehkan, namun sesuai kadarnya.

Catatan penting, Syaikh Ibnu Jibrin memberikan catatan bahwa yang dibolehkan bagi wanita dalam keadaan terpaksa di sini adalah apabila sehari semalam (artinya, tidak boleh lebih dari itu). Karena jika lebih dari sehari semalam atau lebih lama dari itu, tentu saja akan memberikan dampak bahaya lebih besar. Alasan beliau adalah hadits,

لا يحل لامرأة تُؤمن بالله واليوم الآخر أن تُسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم

“Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali disertai dengan mahromnya.” (HR. Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 1339). Penjelasan ini sebagaimana Syaikh rahimahullah sebutkan pada fatwa lainnya.

Keempat: Seorang wanita yang hendak pergi ke luar negeri hendaklah ditemani mahromnya.

Ini syarat yang mesti diperhatikan sebagaiman disebutkan dalam hadits,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا »

Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Untuk melengkapi bahasan ini, kami harap bisa membaca artikel lainnya tentang “Bentuk Loyal kepada Orang Kafirdi sini.

Prepared after ‘Isya’, 16th Dzulhijjah 1431 H, 22/11/2010 in Riyadh, KSA

By: Muhammad Abduh Tuasikal

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/1411-kuliah-di-eropa-dan-negeri-kafir.html